Bab 1 Bagian 2 - Underneath The Bandages, You Are Prettier Than Anyone

Bab 1 Bagian 2 - Underneath The Bandages, You Are Prettier Than Anyone

Bab 1 Bagian 2 - Underneath The Bandages, You Are Prettier Than Anyone

Bab 1 bagian 1 - Di balik perban itu

Itu terjadi beberapa waktu lalu. Ketika di kelas SD tiga aku mencari tempat baru untuk bermain, dan aku berhasil menemukan sebuah taman kecil. Di situlah kami bertemu.

Sekelompok bocah mengepung seorang gadis kecil yang mengenakan seragam sekolahku. Namun, ada satu perbedaan besar antara dia dan gadis-gadis lain— Perban melilit tubuhnya yang kecil.

Kain membungkus seluruh tubuhnya. Satu-satunya cara melihat kulitnya adalah melalui lubang di atas mata, mulut, dan telinganya. Selain itu, kau juga bisa melihat kepalanya yang dicukur dari bawah perban.

Di sekolah, tidak ada yang pernah melihat wajahnya yang dibalut perban, dan aku pun belum pernah melihat wajah dia sebelumnya.

Dikelilingi oleh bocah bocah lain, dia gemetar. Tubuhnya yang lemah membungkuk saat air mata mengalir di wajahnya. Salah satu dari bocah bocah itu, seorang bocah cowok yang tampak kejam bertubuh terlalu besar untuk seusianya, mengangkat suaranya. Bocah lain mengikutinya, dan juga mulai melecehkan gadis yang tak berdaya itu.

"Lihat, mumi yang aneh itu! Ada apa dibalik perban itu, ya~? Biarku lihat!"

"Kakakku memberitahuku bahwa dia dikutuk di balik perban itu!"

"Ya, kau monster! Wajah seram macam apa itu?"

Bocah bocah cowok itu mengulurkan tangan mereka, mencoba meraih perban yang melilit wajahnya yang lemah.

"B-Berhenti... Tolong, hentikan..."

Dengan suara yang sangat kecil hingga hampir seperti menghilang, dia menangis dan mencoba melawan. Namun, lengannya yang sakit tidak bisa melepaskan anak laki-laki itu. Saat itulah aku melompat ke depan mereka, melindunginya.

Berbekal rasa keadilan yang murni dan polos yang aku miliki sebagai seorang bocah, dan dari kecerobohanku yang mudah terbawa suasana, aku memperhatikan sekeliling untuk menemukan siapa pemimpin dari sekelompok bocah bocah itu. Aku meninju dia dengan setiap ons kekuatan yang bisa kukerahkan.

"Guh—!"

Serangan mendadak itu berhasil, dan bocah itu jatuh tersungkur, kakinya terkilir saat terjatuh. Dia bahkan mencoba terhuyung-huyung berdiri tetapi akhirnya jatuh dengan pantat lebih dulu lagi.

"Apa sih yang kalian lakukan? Kalian mengeroyok seorang gadis kecil!" Aku berteriak pada mereka.

"Apa yang— Menyingkir dari sana! Aduh-!" Bocah terbesar memegang pergelangan kakinya, meringis di tanah.

Tampak khawatir, bocah lain berlari ke arahnya untuk melihat apa dia baik-baik saja. Aku mengambil kesempatan itu dan menggenggam tangan gadis kecil itu. Dia masih tersentak karena pelecehan mereka.

"Ayo pergi!"

"Eh, o-oke!"

Sambil bergandengan tangan, kami berlari. Kami masih bisa mendengar bocah bocah itu menangis, "Woi tunggu!" di belakang kami, tetapi mereka tidak berusaha untuk mengikuti kami, mungkin karena 'pemimpin' mereka masih terjatuh.

Berlari keluar dari taman itu, kami bersembunyi di balik salah satu pohon yang agak jauh dari sana. Aku menatapnya sambil mencoba menenangkan napasku. Dia masih gemetar karena pembullyan mereka.

"Ssst, tidak apa-apa. Kita berhasil kabur dari mereka, dan mereka mungkin tidak mengejar kita. Tenang, aku membawamu ke sini bukan untuk melakukan hal buruk."

"A-Aku tahu... terima kasih telah menolongku..."

Dia menatap lurus ke arahku, matanya masih basah karena air matanya— Oh~ betapa indah matanya. Permata bening, mirip dengan safir.

"Kau ingin aku mengantarmu pulang? Aku tidak ingin orang-orang itu menemukanmu lagi...”

"Y-Ya..."

"Kalau begitu mari kita pergi bersama. Kau bisa menunjukkan jalan pulang?”

Kami berjalan menjauh dari sana, tanganku masih menggenggam tangannya.

Dalam perjalanan kami ke rumahnya, dia dengan cemas mengajukan pertanyaan. "Ano... K-Kenapa kau menolongku?"

"Hmm, Tidak ada alasan khusus. Yah, kau mungkin tidak mengetahuinya, tetapi kita berasal dari sekolah yang sama, meskipun kelas kita berbeda.

"Tapi... apa kamu tidak jijik melihatku? Tidakkah kau pikir kau akan... sakit jika kita berpegangan tangan?”

"Oh~, apa aku akan sakit?"

Dia menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaanku. "T-Tidak, kau tidak akan mengalaminya. Tapi semua orang di sekitarku selalu menyuruhku untuk tidak menyentuhnya, karena aku sakit dan aku kotor..."

"Selama tidak menular, aku baik-baik saja. Juga, kau tidak kotor."

Aku melirik tangannya. Sangat kecil dan halus, sedikit pucat dan tembus cahaya. Kukunya yang bulat dan terpelihara dengan baik adalah mutiara merah muda yang indah— Bagaimana bisa tangan mungil ini disebut kotor?

"Lihat, kau memiliki tangan paling indah yang pernah kulihat."

"A-Aku tidak pernah diberitahu bahwa aku... Indah sebelumnya."

"Benarkah? Aku sangat menyukai tanganmu."

"Kau suka...?" Dia memalingkan wajahnya dariku.

Aku bisa melihat telinga kecilnya berubah menjadi merah muda dari lubang di kain kasanya. Agak lucu bahwa dia menggeliat sedikit, mungkin malu dipuji untuk pertama kalinya.

"Aku tidak pernah berpikir kau menjijikkan. Tidak ketika aku melihatmu di sekolah, dan tentu saja tidak sekarang karena kita saling dekat."

"Mengapa...?"

"Aku hanya terheran dengan melihat wajahmu dibalut perban. Itu saja."

Dia tidak ada di kelasku, dan aku tidak pernah berbicara dengannya. Aku hanya pernah melihatnya dari kejauhan, dan aku tidak tahu bagaimana teman-teman sekelasnya memperlakukannya. Selain itu, aku baru saja mengetahui dia dibully, jadi para pembully tidak dapat mencariku dengan cara apa pun. Aku hanya menilai apa yang kulihat seja dengan mataku sendiri, jadi yang aku pikirkan hanyalah dia berbeda, tidak lebih.

"Apa anak-anak itu dari kelasmu?"

"Ya... Mereka memanggilku untuk bermain dengan mereka, jadi aku pergi... Tapi mereka berbohong."

"Aku mengerti. Terkadang orang orang benar-benar melakukan hal-hal yang mengerikan, ya."

"Aku tidak punya teman, dan aku selalu sendiri... tapi hari ini, untuk pertama kalinya dalam hidupku, seseorang memintaku bermain dengan mereka. Aku senang, dan ibuku juga, tapi... mereka berbohong.”

Pakaian yang dia kenakan sangat kotor oleh lumpur. Itu terjadi ketika dia diganggu oleh orang-orang itu. Meski begitu, dengan semua lumpur, aku masih berpikir pakaiannya cantik pada saat pertama kali melihat.

Jadi dia biasanya diganggu dan tidak pernah punya teman bermain. Ini adalah pertama kalinya teman-teman sekelasnya memanggilnya untuk bermain dengannya, jadi itu pasti membuatnya sangat bahagia. Dia sangat polos, dia tidak pernah meragukan seseorang. Kebahagiaannya tulus.

Ibunya pasti sangat gembira mendengar hal itu dari anaknya, mendengar betapa bahagianya dia. Dia mungkin membantu mencari pakaian bersamanya dan membawanya ke taman, melihat anaknya pergi bermain.

Tapi apa yang benar-benar ditunggu anaknya adalah pembullyan yang mengerikan.

Aku bertanya-tanya bagaimana perasaannya; betapa frustrasinya dia karena kebahagiaan dan kegembiraannya diinjak-injak seperti itu.

Aku meremas tangannya saat dia akan menangis, bahunya bergetar.

"Mari kita abaikan mereka mulai sekarang, jadi bermainlah bersamaku lain kali."

"Eh, mau main? Bersama denganku?"

"Ya. Jika kau tidak keberatan, aku akan bermain denganmu ketika aku bisa.

"Apa kau yakin...? Jika kau bergaul denganku, kau mungkin... Diganggu juga.”

"Jika mereka melakukannya, aku akan menggulungnya lagi. Aku petarung yang cukup hebat.”

"Tapi tapi..."

Menatap matanya saat dia terlihat ingin menangis, suaranya yang lemah hampir pecah.

Aku tidak tahu bully-an seperti apa yang dia alami, tetapi aku merasa rasa keadilanku yang naif semakin kuat. Aku tahu aku tidak bisa meninggalkan gadis rapuh ini sendirian.

"Jika kau tidak keberatan, maukah kau berteman denganku? Apa itu tidak apa apa?”

"Itu... kau mau menjadi temanku...?"

"Ya! Ayo bermain bersama, jadi jangan ragu untuk datang dan bermain saat jam istirahat. Aku di kelas lima."

"Aku di kelas 2... Jadi, bisakah aku benar-benar datang ke kelasmu saat istirahat dan bermain denganmu...?"

"Tentu saja! Oh ya, siapa namamu?"

"Ano, aku... Yuki. Yuki Amagi."

"Aku Haru Hinakura! Nama depanku adalah Haru, yang berarti 'cuaca cerah'! Senang bertemu denganmu!"

"Haru-kun... Tolong perlakukan aku dengan baik…" Yuki menatapku, menyeka air mata yang tidak bisa berhenti mengalir dari matanya.

Tercakup dalam perban, dia tersenyum lebar.

Itu pertama kalinya aku melihat senyumnya.



Anda mungkin menyukai postingan ini

disqus